Rabu, 22 Agustus 2012

TOKOH YANG PATUT DITELADANI

KH. Hamid Pasuruan


KYAI HAMID PASURUAN
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahhr, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.

Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan:
Kini Sulit Dicari Padanannya

Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Samp`i bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan rabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, lisalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan:
Kini Sulit Dicari Padanannya

Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-`yam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
sumber :
from :www.salafiyah.org




  KH. Muhammad Yahya, Gading, Malang

 

Kyai Haji Muhammad Yahya dilahirkan pada tahun 1903 M, di desa Jetis, 10 km arah barat kota Malang, perjalanan kearah kota Batu. Saat ini, desa jetis berada di wilayah kerja kecamatan Dau, kabupaten Malang dan berbatasan langsung dengan kelurahan Tlogomas yang sudah berada di wilayah kerja kecamatan Lowokwaru, Kotamadya Malang.
Meskipun lahir di daerah Malang, namun sebenarnya kiai Yahya memiliki darah keturunan Jawa Tengah, tepatnya daerah Juwana, kabupaten Pati. Karena ayahandanya, kiai Qoribun dan ibunda nyai Sarmi adalah penduduk asli Juwana. Dari perkawinan kiai Qoribun dan nyai Sarmi itulah kiai Yahya dilahirkan sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara. Dengan demikian beliau memiliki tiga kakak dan tiga adik. Kakak pertama dan kedua adalah perempuan, yaitu Ratun dan Tasmi, sedangkan kakak ketiganya adalah seorang laki-laki yang bernama Abdul Hamid. Ketiga adik beliau kesemuanya laki-laki, yaitu Subadar, Jayadi dan si bungsu Nasibun.
Sejak kecil kiai Yahya telah bersentuhan dengan ilmu agama melalui pendidikan keluarga dengan tradisi santri yang kental. Disamping itu, beliau juga mengikuti pendidikan dasar keagamaan yang diasuh oleh paman beliau sendiri, yaitu kiai Abdullah yang juga salah satu mursyid thoriqoh Kholidiyah. Di surau pesantren pamannya inilah kiai Yahya menghenal dasar-dasar aqidah, bimbingan ibadah dan doktrin etika agama atau ilmu akhlaq. Penguatan dasar agama dimasa kecil ini menjadikan beliau kuat dan kokoh dalam mempertahankan prinsip serta memperoleh kemudahan dalam mengembangkan ilmu dimasa berikutnya.
RIWAYAT PENDIDIKAN
Kiai Yahya termasuk pecinta ilmu. Hal ini terbukti dengan lamanya masa studi beliau dan banyaknya jumlah pesantren yang pernah ditempati untuk menuntut ilmu. Tidak kurang dari 6 pesantren telah beliau pondoki dalam waktu lebih dari 20 tahun. Masing-masing dari keenam pesantren tersebut, telah member maziah keilmuan tersendiri bagi kiai Yahya yang kelak beliau tunjukkan dalam kiprahnya di tengah masyarakat.
Seusai menjalani pendidikan dasar keagamaan di surau kiai Abdullah, kiai Yahya melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren besar di Malang, yaitu pesantren Mbungkuk, Singosari. Tampaknya, tujuan beliau mondok di pesantren ini selain untuk mendalami ilmu alat, fiqih dan aqidah, juga mengharap barokah ilmu dan hikmah dari Al Allamah Almasyhur bi Waliyillah Syaikh Hajj Muhammad Thohir. Dipesantren ini kiai Yahya pertama kali mendapat ijazah amalan Thoriqoh Kholidiyah dari kiai Thohir. Selepas dari pesantren Mbungkuk, kiai Yahya memperdalam ilmu fiqih sekaligus ilmu tasawuf selama beberapa tahun kepada Al Allamah, kiai Abbas di daerah Cempaka, Blitar.
Merasa belum cukup, kiai Yahya mondok di pesantren Kuningan, Blitar dan kemudian dilanjutkan lagi di pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo yang diasuh oleh KH Khozin. Dari Sidoarjo, kiai Yahya melanjukan kesebuah pesantren di Kediri, tepatnya desa Jampes, yang diasuh oleh KH Moh. Dahlan.
Di pondok Jampes inilah kesungguhan kiai Yahya dalam menuntut ilmu benar-benar teruji. Hal ini ditunjukkan dari ketekunan dalam mengikuti pengajian yang diberikan oleh kiai. Siang dan malam digunakan untuk mengaji dan membaca kitab,bahkan dalam keadaan sakit sekalipun. Pernah pada waktu pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin, kiai Yahya dalam keadaan sakit. Namun, kiai Yahya tetap mengikuti pengajian sampai khatam walau dalam kondisi tidak sehat. Oleh karena itu, bisa dimaklumi bila ketinggalan pengajian ( ada kitab yang ‘bolong’ ), maka beliau pasti meminjam kitab pada teman santri lain, untuk mengganti ketertinggalan itu ( dikalangan pesantren dikenal dengan istilah nembel ). Salah seorang teman akrab kiai Yahya yang biasa dipinjami adalah kiai Asy’ari asal Wajak.
Kepada kiai Dahlan, kiai Yahya pernah meminta ijin untuk menambah aurad ( wiridan ) thoriqoh selain yang telah dilakukan selama ini. Namun kiai Dahlan tidak memberinya, bahkan menyatakan bahwa suatu saat nanti akan datang sendiri guru thoriqoh yang akan memberi ijazah kepada kiai Yahya.”mengko bakal teko dhewe guru thoriqoh nang awakmu”,titah kiai Dahlan waktu itu. Setelah hampir 30 tahun, ucapan kiai Dahlan itu terbukti. Yaitu dengan datangnya seorang ulama’ mursyid thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, yakni syekh Zainal Makarim dari Solo yang kemudian membaiat kiai Yahya dengan ijazah thoriqoh. Pada saat itu pulalah, beliau dibai’at sebagai mursyid thoriqoh tersebut.
Kesungguhan kiai Yahya dalam menuntut ilmu dan kepatuhan pada guru, membuat kiai Dahlan memberikan pembinaan tersendiri, baik secara dzahir melalui penyampaian ilmu-ilmu kitab kuning, maupun secara batin melalui do’a dan barokah. Salah satu bentuk barokah do’a itu, kiai Yahya pernah diludahi mulut beliau oleh kiai Dahlan. Menurut keyakinan ulama’, barang siapa yang diludahi oleh kiai Dahlan, maka akan mendapatkan ilmu ladunni tujuh turunan.
Dan ketika kiai Dahlan wafat, kiai Yahya meneruskan pengembaraan ilmunya pada sebuah pesantren di Tulungagung yang diasuh oleh KH Asy’ari dan KH Abdul Fatah. Namun saat pondok Jampes diasuh oleh kiai Ihsan putra KH Dahlan, kiai Yahya kembali ke pesantren tersebut dan belajar disana selama tujuh tahun. Pada saat di pesantren Jampes untuk kedua kalinya ini, kiai Yahya mendapat tugas dari kiai Ihsan untuk ikut mengajar para santri. Karena keistiqomahan, kepemimpinan dan besarnya tanggung jawab beliau, maka kiai Yahya juga dipercaya oleh pengasuh untuk menjabat sebagai lurah pondok ( kepala pondok ) untuk beberapa tahun. Di pesantren ini kiai Yahya memperoleh pengalaman mengajar dan berorganisasi yang nantinya beliau terapkan untuk mengelola pesantren sendiri.
Atas restu kiai Ihsan, akhirnya pada tahun 1930, kiai Yahya boyong dari pesantren Jampes kembali ke kota kelahirannya di Malang. Pada tahun yang sama, kiai Yahya diambil menantu oleh kiai Isma’il, dan dikawinkan dengan putri angkat beliau yang bernama Siti Chodijah. Kiai Isma’il mengambil putri angkat dari kemenakan beliau sendiri,yaitu kiai Abdul Majid. Kedua ulama’ ini merupakan pengasuh generasu kedua pada Pondok Pesantren Gadingkasri Malang, nama Pondok Pesantren Miftahul Huda saat itu yang kemudian lebih dikenal dengan Pondok Gading
Pasangan kiai Yahya dan nyai Chodijah benar-benar membangun mahligai rumah tangga. Baru lima tahun setelah akad nikah, tepatnya pada tahun 1935 kiai Abdul Majid dan kiai Isma’il wafat. Dan milai tahun itu pula, kiai Yahya mengemban tugas ganda, baik sebagai pengasuh pesantren maupun sebagai kepala keluarga

Senin, 13 Agustus 2012

Keajaiban Ustad, Wafat saat Tarawih

Setiap hari kita berdoa agar menghadap Allah dengan husnul khatimah. Tapi, apa syaratnya? Mari kita mengambil hikmah dari kisah meninggalnya Ustad Roni Gobel, imam Masjid Agung Baiturrahim Gorontalo.

Salah satu ciri husnul khatimah adalah meninggal saat melakukan ibadah. Seperti itulah akhir hidup Ustad Roni Gobel (69), imam Masjid Agung Baiturrahim Gorontalo tahun 2009 l`lu. Ia menghadap Ilahi saat menjadi imam shalat Tarawih.
Tidak ada yang mengira bahwa malam saat shalat Tarawih itu Ustad Roni Gobel akan berpulang ke Rahmatullah. Sebab sebelumnya, ia sempat menjadi imam shalat Isya di Masjid Agung Baiturrahim Gorontalo. Seusai menjadi imam, ia memang mengeluh sakit dada sehingga ia meminta salah satu imam Masjid Agung tersebut untuk menggantikan perannya dalam shalat Tarawih. Ustad Roni Gobel sendiri memilih menjadi makmum sebelum beberapa rakaat, kemudian ia jatuh dan meninggal dunia.
Peristiwa tersebut terjadi pada tiga tahun silam, tepatnya hari Rabu malam, 26 Agustus. Imam Rasyid Kamaru yang menjadi imam shalat Tarawih mengaku diminta almarhum untuk menggantikan menjadi imam shalat. “Beliau (Ustad Roni Gobel, red) mengeluh sakit dada dan minta air minum setelah shalat Isya,” kata Imam Rasyid Kamaru.
Merasa tak mampu lagi mengimami shalat Tarawih, Ustad Roni Gobel meminta imam Rasyid Kamaru menggantikannya hingga kemudian Ustad Roni jatuh pada saat rakaat keenam saat shalat berlangsung.
Sang ustad sempat diangkat sejumlah jamaah ke ruangan yang berada di sebelah mimbar, sementara shalat Tarawih tetap dilanjutkan hingga rakaat ke-20.
Ketua Takmir Masjid Baiturahim, Hamzah Husen, mengatakan, seusai shalat Tarawih, ia memeriksa kondisi Ustad Roni yang telah mengembuskan napas terakhir. “Saat kami periksa, beliau 99% telah meninggal, namun kami belum berani mengumumkannya kepada jamaah masjid,” katanya.
Peristiwa tersebut sempat menimbulkan kegaduhan dan kepanikan, ketika jamaah masjid melihat jenazah sang imam diangkat keluar masjid dan dibungkus kain putih. Jasadnya kemudian dimakamkan pada keesokan pagi harinya.

H Nur Ahmad, Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji diterima oleh Pemerintah Arab Saudi


Tokoh 
KH NUR AHMAD
Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia

Rabu, 10/06/2009 14:06

Tags:

Space Iklan
300 x 80 Pixel
Meski hampir setiap menjelang pelaksanaan puasa Ramadlan, Idul Fitri, dan Idul Adha umat Islam ribut dalam menentukan tanggalnya, namun rupanya tidaklah banyak ulama yang berkhidmah terhadap ilmu falak, ilmu tentang ilmu penanggalan. Dan di antara ulama khos yang sedikit ini adalah KH Nur Ahmad dari Jepara. Pada era KH Abdurrahman Wahid memimpin Nahdlatul Ulama, KH Nur Ahmad adalah perwakilan dari propinsi Jawa Tengah untuk Lajnah Falakiyah PBNU.

Terlahir di Robayan, Jepara pada tahun 1930 Nur Ahmad memulai pendidikannya di kampung halamannya sendiri, sebelum ia kemudian bersekolah ke Madrasah Taswiquth Thullab (TBS) Kudus. Selama belajar di TBS memang belum nampak keahliannya sebagai santri yang hebat. Namun selama belajar di TBS inilah Nur Ahmad mulai berkenalan dengan pelajaran falak dan berguru secara pribadi (sorogan) kepada KH Turaichan Kudus dengan memakai rubu’ (alat ukur berbentuk seperempat lingkaran) dan metode logaritma. Nur Ahmad belajar privat (sorogan) falak karena ia menyukai matematika.

Menurut penuturannya, Nur Ahmad menekuni pelajaran falak ketika duduk di bangku  tsanawiyah TBS (SMP). Tingkatan tertinggi, karena waktu itu belum ada tingkat Aliyah (SMU). Waktu itu di Jepara, madrasah setingkat SMP pun belum ada. Di rumah, Nur Ahmad belajar mencocokkan arloji. Karena terlalu sering diubah-ubah, maka arlojinya pun sering rusak.

Selama di Madrasah TBS Kudus, Nur Ahmad belajar ilmu falak menggunakan kitab falak karangan Kiai Mawardi Solo. Nur Ahmad menyalinnya dengan memakai tinta tutul. Yakni berupa alat tulis yang terdiri dari batang lidi aren lancip dengan tinta cair dalam botol. Memang demikianlah alat tulis para santri pada zaman itu. Alat ini memiliki keistimewaan awet, tahan lama dan tidak pudar. Sehingga, meski sekarang telah ada bolpoint yang praktis, namun banyak santri masih menggunakannya sebagai alat tulis sampai saat ini.

Karena ketertarikannya pada pelajaran falak, Nur Ahmad tidak puas hanya belajar kepada satu guru saja, melainkan ia juga belajar falak secara sorogan (privat) kepada beberapa ulama di Kudus seperti kepada Kiai Rif’an Kudus. Keistimewaan cara belajar Nur Ahmad kepada Kiai Turaichan adalah, ia belajar langsung tanpa memakai kitab panduan. Tanpa kitab, sekali belajar harus langsung bisa.

Nur Ahmad memiliki jadwal rutin dengan Kiai Turaichan. Pernah, pada suatu ketika tidak dapat memenuhi jadwal hingga molor sampai kira-kira sebulan. Maka Nur Ahmad tidak berani kembali hingga ia bisa menguasai pelajaran selanjutnya. Dan ketika tiba ia kembali mengaji kepada Kiai Turaichan, maka dia ditanya, ”gimana kamu Nur?” Dan Nur Ahmad hanya menjawab, ”Sudah bisa Kiai”. Dan Kiai Turaichan pun melanjutkan pelajarannya.

Setelah menamatkan pendidikannya di Kudus, Nur Ahmad remaja kemudian berkelana ke pesantren-pesantren lain di Jawa. Di antaranya adalah ke Tebuireng, Jombang, ke Salatiga, ke Rembang, ke Lasem, dan ke Langitan, Tuban.

Perjalanannya menuntut ilmu falak ini dilakukan setelah mendapatkan restu dari gurunya, KH Turaichan. Yakni setelah Nur Ahmad dianggap telah cukup menguasai dasar-dasar falakiyah dan membutuhkan bersilaturrahim (mengaji) kepada guru-guru lain. Dari sinilah Nur Ahmad menguasai banyak metode falakiyah dan mempelajari banyak kitab-kitab falak seperti Hikmatul Wasaid dan Kurotul wafiyah.

Selama di Salatiga, Nur Ahmad belajar kepada Kiai Zubair, pengarang Khulasotul Wafiyah), dan di pesantren Widang Langitan, Nur Ahmad mengaji kepada Kiai Abdul Hadi dan akrab dengan Kiai Faqih Langitan yang merupakan teman satu angkatannya.

Namun selama mengembara ke beberapa Kiai ini, Nur Ahmad selalu menyempatkan diri untuk mengaji kepada guru pertamanya, KH Turaichan di Kudus. Sehingga Nur Ahmad merupakan salah satu santri kesayangan sang maestro falak ini.

Selain belajar secara jasmaniah/teknis, Nur Ahmad juga diperintahkan oleh gurunya, KH Turaichan untuk berguru secara ruhaniah. Cara berguru yang kedua ini berupa perjalanan ziarah kepada para ulama ahli falak yang telah wafat. Nur Ahmad sering mendapat perintah, untuk berziarah ke makam-makam ulama falak. Seperti ke pesarean (makam) Raden Dahlan, Semarang, seorang ulama ahli falak pada zamannya, Kiai Maksum Seblak, Jombang dan Asy’ari Bawean.

”Jika kamu ingin menguasai falak, berziarahlah kepada Kiai Ma’sum Jombang. Ber-hadharah (mengirim doa) kepada banyak Kiai, agar barokah,” kata Kiai Turaichan kepada muridnya ini.

Setelah sekian lama belajar kepada Kia Turaichan, Nur Ahmad pun kemudian muncul sebagai salah satu ulama ahli falak di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Awalnya, sang guru, Kiai Turaichan Adjhuri es-Syarofi Kudus, sebagai ketua Markas penanggalan Jawa Tengah, diminta sebagai anggota Lajnah Falakiyah di PBNU dari perwakilan Jawa Tengah, tetapi tidak berkenan. Lalu Kiai Turaichan diminta untuk menunjuk perwakilannya. Maka sang guru ini pun menunjuk Kiai Nur Ahmad Jepara yang merupakan muridnya, sebagai wakilnya di Lajnah Falakiyah PBNU. Peristiwa ini ini terjadi pada tahun 1969. Maka jadilah KH Nur Ahmad sebagai salah satu pengurus Lajnah Falakiyah PBNU.

Mengubah Haji Akbar

Salah satu alasan, mengapa Nur Ahmad merupakan salah satu di antara para ulama ahli falak yang diperhitungkan adalah prestasinya mengubah keputusan pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988.

Waktu itu, pemerintah Saudi Arabia berkeras ingin menentukan hari waktu wukuf haji menurut kehendaknya sendiri. Yakni dipaskan pada hari Jumuah (Jum’at), agar dapat menjadi momentum Haji Akbar. Pemerintah Saudai Arabiyah berusaha merekayasa agar wukuf pada musim haji kali ini dapat dilaksanakan pada hari Jumuah, sehingga dapat dianggap menjadi Haji Akbar.

Melihat gelagat ini, PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid pun secara resmi mengutus KH Nur Ahmad untuk meluruskan kesalahan pemerintah Saudi Arabia. Maka Nur Ahmad pun berada dalam rombongan haji para pengurus PBNU.

Di Makkah, KH Nur Ahmad kemudian membuat penuturan tertulis dalam bahasa Arab bahwa klaim Saudi Arabiya adalah salah. KH Nur Ahmad menyertakan berbagai pandangan hingga setebal delapan belas lembar. Penuturan KH Nur Ahmad ini kemudian dikirim ke beberapa pihak, termasuk pemerintah kerajaan Saudi Arabia dan Kedutaan Indonesia di sana.

Dalam penuturan tertulisnya ini, Nur Ahmad mendasarkan hitungannya pada perbedaan awal Dzulqo’dah. Yakni dengan menggenapkan bulan Syawal menjadi tiga puluh hari, karena bulan Ramadhan sebelumnya, hanya berjumlah dua puluh sembilan hari. Karena tidaklah mungkin terdapat penanggalan hijriyah dengan 29 hari dalam tiga bulan berturut-turut.

Selain itu, sebagai utusan PBNU, KH Nur Ahmad mengumpulkan orang-orang Indonesia yang bermukim di Makkah, untuk move/pressure politik. Kepada mereka KH Nur Ahmad berpesan, jika benar Kerajaan Saudi Arabia tetap memutuskan dan mengumumkan bahwa wukuf jatuh pada hari Jumuah, maka mereka harus tetap melaksanakan wukuf pada hari Sabtu. ”Tolong pinjami saya mobil dan sopirnya, nanti kalian ikut di dalamnya. Kita tetap akan wukuf pada hari sabtu,” kata Nur Ahmad kepada para mukimin tersebut, yang sebenarnya adalah para tetangganya dari demak, Lasem dan sekitarnya.

Akhirnya, pemerintah Saudi Arabia bersedia merubahnya pendiriannya dan jadilah akhirnya wukuf bersama-sama pada hari Sabtu. Untuk memastikan perubahan sikap pemerintah saudi Arabia ini, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid pun menyusul ke Saudi Arabia.

”Dianggapnya pada waktu itu ahli falak di NU hanya Nur Ahmad Jepara saja. Padahal Nur Ahmad hanyalah Murid Kiai Turaichan Kudus saja.” katanya KH Nur Ahmad merendah.

Syamsul Hilal
KH Nur Ahmad ini pulalah yang merupakan ”saksi ahli” dalam kejadian penolakan melihat gerhana matahari secara langsung dengan mata telanjang, yang tetapkan oleh pemerintah. KH Nur Ahmad tentu tidak kaget ketika perintah keluar masjid dan melihat gerhana secara langsung dikeluarkan oleh gurunya dari atas mimbar khutbah gerhana. Bagaimana pun juga Nur Ahmad telah mengetahui sebelumnya, karenya dirinya merupakan orang yang sangat intens diajak berdiskusi oleh gurunya untuk urusan falakiyah.

Untuk mengukur sejauh mana kualitas keilmuan Nur Ahmad, dapatlah diukur dari kedekatannya dengan gurunya. Karena kepercayaan Kiai Turaichan kepada Nur Ahmad, maka ia sering diajak langsung untuk menemui tamu-tamu penting membicarakan urusan falakiyah, atau ketrlibatannya sebagai wakil Kiai Turaichan untuk urusan-urusan falakiyah.

Salah satu yang cukup membuatnya terkesan adalah ketika gurunya, KH Turaichan didatangi oleh seorang tamu bernama Sa’duddin Jambek dari Sumatera Barat. Tamu ini datang ke Kudus, tampaknya ingin mencoba menjajaki, sejauh mana ketinggian ilmu gurunya. Di sini Nur Ahmad adalah murid yang dilibatkan secara langsung untuk menemui sang tamu.

Tamu ini menanyakan, kitab apa yang digunakan untuk menghitung tinggi hilal (bulan sabit penanda awal tanggal baru) dari kaki langit (ufuk) terendah. Mengerti maksud kedatangan tamunya, Kiai Turaichan mulai menjawab dengan menunjukkan kitab falak yang dianggap paling dasar oleh kalangan santri, yakni Sullamun Nayiroin. Ketika sang tamu mengerti, maka Turaichan terus menunjukkan pada tingkat di atasnya. Demikian seterusnya, hingga ketika menunjukkan kitabSyamsul Hilal, sang tamu belum mengenalinya. Maka rupanya sedemikianlah kemampuan sang tamu. Padahal masih banyak kitab-kitab lain yang dianggap lebih tinggi daripada Syamsul Hilal.

Belajar kepada Syeikh Yasin Padang 

Salah satu yang membuat KH Nur Ahmad merasa berkesan adalah ketika berguru kepada Syeikh Yasin Padang. KH Nur Ahmad berguru kepada Syeikh Yasin Padang di Makkah ketika sedang menunaikan ibadah haji.

Jika pada umumnya, seseorang membutuhkan waktu lama untuk mempelajari sebuah kitab, dengan Syeikh Yasin Padang, KH Nur Ahmad hanya membutuhkan 3 hari untuk menghatamkan satu kitab. Alhasil, KH Nur Ahmad pun memiliki banyak pengetahuan baru bersama Syeikh Yasin Padang.

Dengan cara belajar sepanjang masa inilah, KH Nur Ahmad menjalani kehidupannya yang sederhana dan bermanfaat. Meski telah memiliki banyak santri di rumahnya, namun KH Nur Ahmad masih tetap belajar kepada banyak guru dan menimba ilmu kepada para ulama lainnya.

KH Nur Ahmad mengabdikan sepanjang hidupnya untuk perjuangan ilmu Islam Ahlussunnah Waljamaah. Mengabdi untuk pada para santrinya, organisasi NU di Lajnah Falakiyah dan kepada masyarakat sekitarnya.


Syaifullah Amin
(Ditulis berdasarkan penuturan KH Nur Ahmad kepada tim NU Online di rumahnya, Jepara, pada Sabtu 7 Maret 2009)


Kyai Hasyim menjawab


Humor 
Kyai Hasyim Menjawab
Share
Jumat, 01/06/2012 08:19

Tags:

Space Iklan
300 x 80 Pixel
“Ada sebuah pertanyaan yang susah dijawab. Tapi juga kelihatan gampang, yakni mengapa orang adzan selalu menutup telinganya?Demikian almarhum M Said Budairy, mengajak saya tebak-tebakan.

“Mungkin sunnah Rasul, Pak,” kata saya mulai menebak.

“Ada jawaban lain tidak?” tanya Said Budairy.

“Emmm.. mungkin karena nyaman Pak, atau juga karena kebiasaan,” saya tidak mau menyerah.

“Ah, memang susah betul pertanyaan ini kok. Saya ajuga tidak bisa menjawab,” ujar Said Budairy sambil senyum-senyum tipis.

“Lho, masa Panjenengan juga tidak bisa, Pak?” kata saya bingung.

“Saya tahu, tapi ini bukan jawaban dari saya, melainkan dari Kyai Hasyim Muzadi,” jelas Said Budairy.“Apa jawaban Kyai Hasyim,Pak,” kataku penasaran.

“Jawabnya sederhana saja. Karena kalau orang adzan menutup mulutnya, jadi tidak bisa bersuara.” Hahahaha.... Kami tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban ini. (Hamzah Sahal)

Rabu, 08 Agustus 2012

sembuhkan sakit dengan sugesti

Rabu, 01 Agustus 2012

sembuhkan sakit dengan sugesti

Setiap orang pasti pernah merasakan sakit. Baik itu muda maupun tua, laki ataupun perempuan, kaya amaupun miskin, pejabat atau rakyat jelata.

Kamis, 02 Agustus 2012

KPK and POLRI jangan ribut dong


 Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufiq Kiemas berharap agar Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saling bekerja sama dalam pemberantasan korupsi. Jangan ada lagi kegaduhan antar kedua institusi itu seperti yang terjadi ketika penggeledahan Gedung Korps Lalu Lintas (Lantas) Polri oleh KPK.
"Masa sampai ribut gitu penegakan hukum," kata Taufiq seusai acara buka puasa bersama dengan para pejabat tinggi negara di rumah dinasnya, Kamis (2/8/2012) malam.
Taufiq tak mau berkomentar mengenai teknis penyidikan terutama adanya tiga pihak yang sama-sama ditetapkan tersangka oleh KPK dan Polri terkait dugaan korupsi pengadaan alat simulasi roda dua dan empat untuk ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas. Politisi senior PDI Perjuangan itu hanya mengaku mendukung langkah KPK mengusut perkara itu.
Ketika dimintai tanggapan apakah kekisruhan antara Polri dan KPK akan berlanjut sama seperti peristiwa cicak Vs buaya, Taufiq meyakini hal itu tidak akan terjadi kembali. "Dua-duanya sudah menyadarilah itu nggak boleh terjadi lagi," pungkas dia.
Seperti diberitakan, Polri menetapkan lima tersangka dalam perkara itu. Tiga diantaranya juga telah ditetapkan tersangka oleh KPK yakni, Wakil Kepala Korlantas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek.
Dua lainnya adalah pemenang tender yakni, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto dan saksi kunci dalam perkara itu, yakni Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukoco S Bambang. Ketiganya juga dikenakan pasal korupsi.
Berbagai pihak menedesak agar Polri menyerahkan seluruh penyidikan kepada KPK.

Rabu, 01 Agustus 2012

sugesti penyembuhan sakit


Pernah merasakan sakit yang teramat sangat . Seperti Tulang  ngilu-ngilu yang tidak tertahankan  atau pening dikepala yang tidak hilang – hilang  atau  juga gigi terasa cekot - cekot
Wuih..kepala rasanya mau pecah. Bagaimana ini mengatasimya.
Sudah berbagai obat sudah dilahap. Berbagai kapsul sudah ditelan .Berbagai macam jamu sudah diseduh. Waduh....sakit